KATA PENGANTAR
Dengan
mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan limpahan rahmat, anugerah, dan
kekuatan kepada penyusun sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Saya membuat
makalah ini dengan judul “Reformasi yang
dapat memperbaiki nasib bangsa dan mengangkat harkat martabat bangsa dari
pandangan dunia luar”. Makalah ini dibuat sebagai salah satu softskill
pendidikan kewarganegaraan. Dalam membuat makalah ini Saya mendapat beberapa
hambatan dan kesulitan. Namun atas
bantuan dan bimbingan dari semua pihak akhirnya Saya dapat menyelesaikannya.
Sebelumnya Saya selaku penulis ingin berterima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu Saya dalam menyelesaikan makalah ini, terutama
kepada para narasumber di website yang sudah memberikan keterangan dan data pendukung laporan ini.
Saya
sebagai penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan
makalah dan menyadari pula bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka
dari itu, kritik dan saran yang bersifat membangun (konstruktif) sangat Saya
harapkan demi penyempurnaan di masa yang akan datang. Semoga makalah yang Saya
buat dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata Saya sebagai Penyusun
mengucapkan banyak terimakasih.
Jakarta, 08 Juni 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya
perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih
baik secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih baik, demo-kratis
berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Gerakan reformasi
lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan. Krisis
politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan faktor-faktor yang
mendorong lahirnya gerakan reformasi. Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi
salah satu indikator yang menentukan. Artinya, reformasi dipandang sebagai
gerakan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi dan karena itu, hampir seluruh
rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan tersebut. Dengan semangat
reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya pergantian kepemimpinan nasional
sebagai langkah awal. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat
memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Semua itu
merupakan jalan menuju terwujudnya kehidupan yang aman, tenteram, dan damai.
Rakyat tidak mempermasalahkan siapa yang akan pemimpin nasional, yang penting
kehidupan yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan dapat segera terwujud
(cukup pangan, sandang, dan papan). Namun demikian, rakyat Indonesia
mengharapkan agar orang yang terpilih menjadi pemimpin nasional adalah orang
yang peduli terhadap kesulitan masyarakat kecil dan krisis sosial.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun ruang lingkup permasalahan yang dibahas pada makalah
kali ini adalah sebagai berikut:
-
Pengertian dari reformasi.
-
Reformasi yang dapat memperbaiki nasib bangsa dan mengangkat harkat martabat
bangsa dari pandangan dunia luar.
1.3 Maksud dan Tujuan
a.
Maksud
Untuk
memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang pengetahuan dan kemampuan
mengetahui apa yang dimaksud dengan reformasi serta upaya memperbaiki nasib
bangsa dan mengangkat harkat martabat bangsa dari pandangan dunia luar.
b.
Tujuan
Untuk
mengetahui tentang reformasi yang dapat memperbaiki nasib bangsa dan mengangkat
harkat martabat bangsa dari pandangan dunia luar, serta untuk memenuhi salah
satu tugas tulisan Pendidikan Kewarganegaraan.
1.4 Sistematika Penulisan
Di dalam makalah ini, penulis menggunakan sistematika
penulisan sebagai berikut:
-
Pendahuluan.
-
Pembahasan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Awal Reformasi.
Awal keberhasilan gerakan reformasi ditandai dengan
mundurnya Presiden Soeharto dan kursi kepresidenan dan digantikan oleh wakil
presiden Prof Dr. BJ. Habibi pada tanggal 21 Mei 1998. Pemerintahan
Habibie inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan membawa
Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh serta menata system
ketatanegaraan yang lebih demokratis dengan mengadakan perubahan UUD 1945
agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman.
Pelaksana demokrasi pada masa Orde Baru terjadi selain
karena moral penguasanya juga memang terdapat berbagai kelemahan yang
terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945. Oleh karena itu, selain melakukan reformasi
dalam bidang politik untuk tegaknya demokrasi melalui perubahan
perundang-undangan, juga diperlakukan amendemen UUD 1945. Lima paket
Undang-undang Politik telah diperbaharui pada tahun 1999 yaitu:
a.
UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, selanjutnya diperbarui lagi dengan
UUD No. 31 Tahun 2002.
b.
UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, akhirnya diubah lagi dengan UU No.
12 Tahun 2003.
c.
UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD
selanjutnya diganti dengan UU No. 22 Tahun 2003.
d.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan dan Diganti dengan
UU No. 32 Tahun 2004 yang didalamnya memuat pemilihan kepada daerah
secara langsung.
e.
UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Reformasi dapat diterjemahkan sebagai perubahan radikal
(bidang sosial, politik atau agama) disuatu masyarakat atau negara. Sedangkan
reformis adalah orang yang menganjurkan adanya perbaikan (bidang politik,
sosial, agama) tanpa kekerasan. Reformasi dapat dibagi dalam 3 bentuk:
1.
Reformasi Prosedural
Tuntutan untuk melakukan perubahan pada tataran normatif
atau aturan perundang-undangan dari yang berbentuk otoriter menuju aturan
demokratis. Undang- Undang yang mengatur bidang politik harus menjamin adanya
ruang kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas politik. Undang-
Undang yang mengatur bidang sosial budaya harus memberikan kesempatan
masyarakat untuk membentuk kelompok sosial sebagai ekspresi kolektif dari
identitas masing- masing. Undang-undang yang mengatur bidang ekonomi harus
melindungi kepentingan masyarakat umum (ekonomi kerakyatan) bukan pengusaha dan
penguasa. Begitulah kira- kira gambaran umum arah reformasi prosedural. Pada
konteks ini, hemat penulis , Indonesia dapat dikatakan telah menjalankan
reformasi prosedural itu. Pasca tahun 1998, peraturan perundang- undangan telah
banyak dirubah bahkan peraturan yang mendasari berdirinya Republik Indonesia
yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sudah empat kali dilakukan perubahan
(amandemen).
Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah
daerah yang dinilai sentralistik telah dirubah menjadi Undang-Undang 22 Tahun
1999 dan dirubah lagi menjadi Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintah
daerah yang menjunjung tinggi asas demokrasi yaitu dengan adanya desentralisasi
kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pembahasan
perubahan kesemua undang-undang tidak mungkin dibahas pada tulisan ini.
Setidaknya dalam era reformasi ini secara prosedural terbersit harapan adanya
repositioning pola relasi antara masyarakat dan negara, seperti yang dicatat
oleh Lukman Hakim dalam bukunya yang berjudul Revolusi Sistemik (2003:196) di
era reformasi, negara telah memberi kesempatan seluas mungkin kepada rakyat
untuk melakukan usaha-usaha produktif guna memperkuat posisi tawarnya terhadap
negara.Pertanyaannya, rakyat yang mana yang dapat merasakan reformasi
prosedural itu? Rakyat, menurut Gramsci ada tiga model yakni rakyat kapital,
rakyat politik kolektif, dan rakyat proletar. Hemat penulis, selama ini
reformasi prosedural hanya dinikmati oleh rakyat kapital (konglomerat) dan
rakyat politik kolektif (Parpol,LSM). Sedangkan rakyat proletar (masyarakat
tani dan buruh) hanya menjadi penonton, objek politik, dan bahkan seringkali di
eksploitasi oleh politikus, pengusaha, dan penguasa.
2.
Reformasi Struktural
Tuntutan perubahan institusional negara dari birokratik
menuju birokrasi. Birokratik adalah lembaga negara yang hirarkis, sentralistik
dan otoriter. Birokrasi adalah lembaga negara yang responsif, penegak keadilan,
transparantif, dan demokratis yang menegakkan istilah-istilah suport system
reformasi yang diuaraikan diawal tulisan ini. Terbentuknya sejumlah lembaga non
struktural (komisi) menandakan Indonesia telah masuk pada reformasi struktural.
Komisi adalah Lembaga ekstra struktural yang memiliki fungsi pengawasan,
mengandung unsur pelaksanaan atau bersentuhan langsung dengan masyarakat atau
pihak selain instansi pemerintah (lapis primary), biasanya anggota terdiri dari
masyarakat atau profesional dan kedudukan sekretariat tidak menempel dengan
instansi pemerintah konvensional. Pasca gerakan reformasi 1998 hingga saat ini
lembaga non struktural berjumlah 12 komisi, yakni: Komisi Pemberantasan
Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi Hukum Nasional, Komisi Ombudsman, Komisi
Nasional HAM, Komisi Kepolisian Negara, Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
Komisi Penyiaran Nasional, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, Komisi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Kejaksaan.
Lembaga non struktural tersebut memiliki kewenangan, yakni: meminta bantuan,
melakukan kerjasama dan atau koordinasi dengan aparat atau institusi terkait,
melakukan pemeriksaan(investigasi), mengajukan pernyataan pendapat, melakukan
penyuluhan, melakukan kerjasama dengan perseorangan, LSM, Perguruan Tinggi,
Instansi Pemerintah, Memonitor dan mengawasi sesuai dengan bidang tugas,
Menyusun dan menyampaikan laporan rutin dan insidentil, Meningkatkan kemampuan
dan keterampilan anggota. Pada umumnya, komisi-komisi tersebut memiliki
kewenangan untuk menegakkan keadilan dan membantu masyarakat untuk
memonitoring, membina, mengawasi, dan menyelidiki proses kerja lembaga negara,
Presiden,MA,MK,DPR,DPD, dan seluruh jajaran birokrasi dibawahnya agar
menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sehingga terwujudnya pemerintahan
yang bersih dan baik (clean and good governance) yaitu birokrasi yang sanggup
menempatkan dirinya sebagai pelayan masyarakat.
3.
Reformasi Kultura
Tuntutan untuk melakukan perubahan pola pikir, cara pandang,
dan budaya seluruh elemen bangsa untuk menerima segala perubahan menuju bangsa
yang lebih baik. Reformasi kultural merupakan kata kunci untuk mewujudkan
agenda reformasi prosedural dan struktural yang dijelaskan di atas. Tanpa
adanya reformasi kultural, reformasi prosedural dan struktural hanyalah sebuah
simbol yang tidak memiliki makna apa-apa. Diandaikan sebuah komputer, reformasi
prosedural dan kultural adalah hardwarenya, reformasi kultural adalah
softwarenya. Hardware tanpa sofwer itu bukan dikatakan komputer yang baik.
2.2
Sebab-Sebab Lahirnya Reformasi.
Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok
merupa-kan faktor atau penyebab utama lahirnya gerakan reformasi. Namun,
persoalan itu tidak muncul secara tiba-tiba. Banyak faktor yang
mem-pengaruhinya, terutama ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan
hukum. Pemerintahan orde baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun,
ternyata tidak konsisten dan konsekuen dalam melak-sanakan cita-cita orde baru.
Pada awal kelahirannya tahun 1966, orde baru bertekad untuk menata kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Masih ingatkah kamu akan pengertian orde baru? Orde baru adalah tatanan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan pelaksanaan
pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.Namun dalam pelaksanaannya,
pemerintahan orde baru banyak melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai
Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 yang sangat
merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi
untuk mempertahankan kekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan itu telah melahirkan
krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan reformasi,
seperti:
1.
Krisis Politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak
dari berbagai kebijakan politik pemerintahan orde baru. Berbagai kebijakan
politik yang dikeluarkan pemerintahan orde baru selalu dengan alasan dalam
kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebe-narnya terjadi adalah
dalam rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya.
Artinya, demokrasi yang dilaksa-nakan pemerintahan orde baru bukan demokrasi
yang semestinya, melainkan demokrasi rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi
bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi
yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa. Pemerintahan orde baru selalu
melakukan intervensi terhadap ke-hidupan politik. Misalnya, ketika Kongres
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) memilih Megawati Soekarnoputri sebagai ketua partai,
sedangkan pemerintahan Suharto menunjuk Drs. Suryadi sebagai ketua PDI.
Keja-dian itu mengakibatkan keadaan politik dalam negeri mulai memanas. Namun,
pemerintahan orde baru yang didukung Golongan Karya (Golkar) merasa tidak
bersalah. Keadaan itu sengaja direkayasa oleh pemerintah dalam rangka
memenangkan pemilihan umum secara mutlak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Rekayasa-rekayasa politik terus dibangun oleh pemerintah
orde baru sehingga pasal 2 UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Pasal 2 UUD 1945 berbunyi bahwa: 'Kedaulatan ada di tangan rakyat dan
dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat'. Namun dalam
kenyataannya, kedaulatan ada di tangan seke-lompok orang tertentu. Anggota MPR
sudah diatur dan direkayasa sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat
berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme). Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila anggota MPR/DPR terdiri dari para istri, anak, dan kerabat
dekat para pejabat negara.
Keadaan itu mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya
masya-rakat terhadap institusi pemerintah, MPR, dan DPR. Ketidakpercayaan
itulah yang menyebabkan lahirnya gerakan reformasi yang dipelopori para
mahasiswa dan didukung oleh para dosen maupun kaum cendekia-wan. Mereka
menuntut agar segera dilakukan pergantian presiden, reshuffle kabinet,
menggelar Sidang Istimewa MPR, dan melaksanakan pemilihan umum secepatnya.
Gerakan reformasi menuntut untuk mela-kukan reformasi total dalam segala bidang
kehidupan, termasuk keang-gotaan MPR dan DPR yang dipandang sarat KKN.
Di samping itu, gerakan reformasi juga menuntut agar
dilakukan pembaruan terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap
sebagai sumber ketidakadilan. Keadaan partai-partai politik dan Golkar dianggap
tidak mampu menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Pembangunan
nasional selama pemerintahan orde baru dipandang telah gagal mewujudkan
kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Bahkan, pembangun-an nasional telah mengakibatkan terjadinya ketimpangan
politik, ekonomi, dan sosial. Krisis politik semakin memanas, setelah terjadi
peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa itu sebagai akibat
pertikaian internal dalam tubuh PDI. Kelompok PDI pimpinan Suryadi menyerbu
kantor pusat PDI yang masih ditempati oleh PDI pimpinan Megawati. Peristiwa itu
menimbulkan kerusuhan yang membawa korban, baik kendaraan, rumah, pertokoan,
perkantoran, dan korban jiwa. Pada dasarnya, peristiwa itu merupakan ekses dari
kebijakan dan rekayasa politik yang dibangun pemerintahan orde baru.
Pada masa orde baru, kehidupan politik sangat represif,
yaitu ada-nya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak oposisi atau
orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang represif, di
antaranya:
a.
Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai
tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).
b.
Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau demokrasi
rekayasa.
c.
Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan masyarakat
tidak memiliki kebebasan untuk mengontrolnya.
d.
Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara (sipil)
untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.
e.
Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto dipilih
menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR, tetapi pemilihan itu merupakan hasil
rekayasa dan tidak demokratis.
Ciri-ciri itulah yang menjadi isi tuntutan atau agenda
reformasi di bidang politik. Sepanjang tahun 1996, telah terjadi pertikaian
sosial dan politik dalam kehidupan masyarakat. Kerusuhan terjadi di mana-mana,
seperti pada bulan Oktober 1996 di Situbondo (Jatim), Desember 1996 di
Tasikmalaya (Jabar) dan di Sanggau Ledo yang meluas ke Singkawang dan Pontianak
(Kalbar). Ketegangan politik terus berlanjut sampai menjelang Pemilu Tahun 1997
yang berubah menjadi konflik antar etnik dan agama. Pada bulan Maret 1997,
terjadi kerusuhan di Pekalongan (Jateng) yang meluas ke seluruh wilayah
Indonesia. Bahkan, kerusuhan di Banjarmasin meminta korban jiwa yang tidak
sedikit jumlahnya. Keadaan itulah yang ikut mendorong lahirnya gerakan
reformasi.
Kekecewaan rakyat semakin memuncak ketika semua fraksi di
DPR/MPR mendukung pencalonan Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan
1998-2003. Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998, Suharto terpilih sebagai
Presiden RI dan B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden untuk masa jabatan
1998-2003. Bahkan, MPR menetapkan beberapa ketetapan yang memberikan kewenangan
khusus kepada presiden untuk mengendalikan negara. Semua itu tidak dapat
dipisahkan dari komposisi keanggotaan MPR yang lebih mengarah pada hasil-hasil
nepotisme.
Kekecewaan
masyarakat terus bergulir dan berusaha menekan kepemimpinan Presiden Suharto
melalui berbagai demonstrasi. Para mahasiswa, anggota LSM, cendekiawan semakin
marah ketika bebe-rapa aktivitis ditangkap oleh aparat keamanan. Gerakan
reformasi tidak dapat dibendung dan dipandang sebagai satu-satunya jawaban
untuk menata kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik.
2.
Krisis Hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan orde baru tidak
terbatas pada bidang politik. Dalam bidang hukum pun, pemerintah melakukan
intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan untuk melayani
kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh
keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa.
Kenyataan itu bertentangan dengan ketentuan pasa 24 UUD 1945 yanf menyatakan
bahwa “kehakiman me-miliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan
pemerintah (eksekutif)”. Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori para
mahasiswa, masalah hukum telah menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat
menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar setiap persoalan dapat
ditempatkan pada posisinya secara proporsional. Terjadinya ke-tidakadilan dalam
kehidupan masyarakat, salah satunya disebabkan oleh sistem hukum atau peradilan
yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, para mahasiswa
menuntut agar reformasi di bidang hukum dipercepat pelaksanaannya. Kekuasaan
kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar terwujudnya kehidupan yang
demo-kratis, sekaligus sebagai wahana untuk mengadili seseorang sesuai dengan
kesalahannya.
3.
Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara
sejak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ter-nyata,
ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda dunia.
Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agus-tus 1997, nilai tukar rupiah turun
dari Rp 2,575.oo menjadi Rp 2,603.oo per dollar Amerika Serikat. Pada bulan
Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi
Rp 5,000.oo per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus
melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.oo per dollar.
Melemahnya nilai tukar rupaih mengakibatkan pertumbuhan
eko-nomi Indonesia menjadi 0% dan iklim bisnis semakin bertambah lesu. Kondisi
moneter Indonesia mengalami keterpurukan dan beberapa bank harus dilikuidasi
pada akhir tahun 1997. Untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah
membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan mengeluarkan Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Ternyata, usaha pemerintah itu tidak dapat
mem-berikan hasil karena pinjaman bank-bank bermasalah justru semakin besar.
Keadaan di atas mengakibatkan pemerintah harus menanggung beban hutang yang sangat
besar. Di samping itu, kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia
semakin menurun dan gairah investasi pun semakin melemah. Pada tahun 1998,
pemerintah Indonesia mem-buat kebijakan uang ketat dan bunga bank tinggi guna
membangun kepercayaan dunia internasional. Namun, krisis moneter tetap tidak
dapat diatasi.
Banyak perusahaan yang tidak mampu membayar hutang-hutang
luar negerinya, meskipun telah jatuh tempo. Oleh karena itu, beberapa
perusahaan harus mengurangi kegiatannya dan sebagian lagi harus menghentikan
kegiatannya sama sekali. Akibatnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di
mana-mana. Angka penganggguran pun terus meningkat dan daya beli masyarakat
terus melemah. Kesenjangan ekonomi yang telah terjadi sebelumnya semakin
melebar seiring dengan terjadinya krisis ekonomi. Kondisi perekonomian nasional
semakin memburuk pada akhir tahun 1997 sebagai akibat persediaan sembako
semakin menipis dan menghilang dari pasar. Akibatnya, harga-harga sembako
semakin tinggi. Kekurangan makanan dan kelaparan melanda beberap wilayah
Indonesia, seperti di Irian Barat (Papua), Nusa Tenggara Timur, dan beberapa
daerah di pulau Jawa. Untuk mengatasi persoalan itu, peme-rintah meminta
bantuan kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, bantuan dana dari IMF
belum dapat direalisasikan. Padahal, pemerintah Indonesia telah menandatangani
50 butir kesepahaman, Letter of Intent (LoI) pada tanggal 15 Januari 1998.
Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi,
seperti:
a. Hutang luar negeri di Indonesia
yang sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang
itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap
upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi. Sampai bulan Februari 1998,
sebagaimana disampaikan Radius Prawiro pada Sidang Pemantapan Ketahanan Ekonomi
yang dipim-pin Presiden Suharto di Bina Graha, hutang Indonesia telah menca-pai
63,462 dollar Amerika Serikat, sedangkan hutang swasta menca-pai 73,962 dollar
Amerika Serikat.
b. Pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945,
Pemerintah orde baru ingin menjadikan negara RI sebagai negara industri.
Keinginan itu tidak sesuai dengan kondisi nyata masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agraris dengan tingkat pendidikan
yang sangat rendah (rata-rata). Oleh karena itu, mengubah Indonesia menjadi
negara industri merupakan tugas yang sangat sulit karena masyarakat Indonesia
belum siap untuk bekerja di sektor industri. Itu semua merupakan kesalahan
pemerintahan orde baru karena tidak dapat melaksanakan pasal 33 UUD 1945 secara
konsisten dan kon-sekuen.
c. Pemerintahan Sentralistik,
Pemerintahan orde baru sangat sentral-istik sifatnya sehingga semua kebijakan
ditentukan dari Jakarta. Oleh karena itu, peranan pemerintah pusat sangat
menentukan dan peme-rintah daerah hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah
pusat. Misalnya, dalam bidang ekonomi, di mana semua kekayaan diangkut ke
Jakarta sehingga peme-rintah daerah tidak dapat mengembang-kan daerahnya.
Akibatnya, terjadilah ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah. Keadaan itu
mempersulit Indonesia dalam menga-tasi krisis ekonomi karena daerah tidak tidak
mampu memberikan kontribusi yang memadai.
4.
Krisis Sosial
Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya
krisis sosial. Pelaksanaan politik yang represif dan tidak demokratis
menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis dan agama.
Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah.
Pelaksanaan hukum yang berkeadilan sering menim-bulkan ketidakpuasan yang
mengarah pada terjadinya demonstrasi-demonstrasi maupun kerusuhan. Sementara,
ketimpangan perekono-mian Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap
krisis sosial. Pengangguran, persediaan sembako yang terbatas, tingginya
harga-harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat merupakan faktor-faktor
yang rentan terhadap krisis sosial. Krisis sosial dapat terjadi di mana-mana
tanpa mengenal waktu dan tempat. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah
dapat menjadi faktor penentu karena sebagian besar warga masyarakat tidak mampu
mengendalikan dirinya. Sementara, para mahasiswa dan para cende-kiawan dengan
kemampuannya dapat mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Untuk itu, salah
satu jalan yang sering ditempuh adalah melakukan demonstrasi secara
besar-besaran. Semangat para maha-siswa telah mendorong para buruh, petani,
nelayan, pedagang kecil untuk melakukan demonstrasi. Semua itu merupakan sumber
krisis sosial. Demonstrasi-demonstrasi yang tidak terkendali mengakibatkan
kehidupan di perkotaan diliputi kecemasan, rasa takut, tidak tenteram dan
tenang. Situasi yang tidak terkendali telah mendorong sebagian masyarakat,
terutama dari etnis Cina untuk memilih pergi ke luar negeri dengan alasan
keamanan.
5.
Krisis Kepercayaan
Krisis multi dimensional yang melanda bangsa Indonesia telah
mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Suharto.
Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang demokratis,
menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan pelaksanaan pembangunan
ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.
Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan oleh para mahasiswa, terutama setelah
pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4
Mei 1998. Puncak aksi mahasiswa terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas
Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang berlangsung secara damai telah berubah
menjadi aksi kekerasan, setelah tertembaknya empat orang mahasiswa, yaitu Elang
Mulia Lesmana, Hendriawan Lesmana, Heri Hertanto, dan Hafidhin Royan. Sedangkan
para mahasiswa yang menderita luka ringan dan luka parah pun tidak sedikit
jumlah, setelah bentrok dengan aparat keamanan yang berusaha membubarkan para
demonstran.
Pada waktu tragedi Trisakti terjadi, Presiden Suharto sedang
menghadiri KTT G-15 di Kairo, Mesir. Masyarakat menuntut Presiden Suharto
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan bertanggung jawab atas tragedi
tersebut. Pada tanggal 15 Mei 1998, Presiden Suharto kembali ke Tanah Air dan
masyarakat menuntut agar Presiden Suharto mengundurkan diri. Bahkan, beberapa
kawan terdekatnya men-desak agar Presiden Suharto segera mengundurkan diri.
Dengan demi-kian, tuntutan pengunduran diri itu tidak hanya datang dari para
maha-siswa dan para oposisi politiknya. Kunjungan para mahasiswa ke gedung
DPR/MPR yang semula untuk mengadakan dialog dengan para pimpinan DPR/MPR telah
berubah menjadi mimbar bebas. Para mahasiswa lebih memilih tetap tinggal di
gedung wakil rakyat itu, sebelum tuntutan reformasi total dipenuhinya.
Akhirnya, tuntutan mahasiswa tersebut mendapat tanggap-an dari Harmoko sebagai
pimpinan DPR/MPR. Pada tanggal 18 Mei 1998, pimpinan DPR/MPR mengeluarkan
pernyataan agar Presiden Suharto mengundurkan diri. Namun, himbauan pimpinan
DPR/MPR agar Presiden Suharto mengundurkan diri dianggap sebagai pendapat
pribadi oleh pimpinan ABRI. Oleh karena itu, ketidakjelasan sikap elite politik
nasional telah mengundang banyak mahasiswa untuk berdatangan ke gedung DPR/MPR.
Untuk menyikapi perkembangan yang terjadi, Presiden Suharto
mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat di
Jakarta. Kemudian, Presiden Suharto mengumumkan tentang pembentukan Dewan
Reformasi, perombakan Kabinet Pembangunan VII, segera melakukan Pemilu, dan
tidak bersedia dicalonkan kembali. Namun, usaha Presiden Suharto tersebut tidak
dapat dilaksanakan karena sebagian besar orang menolak untuk duduk dalam Dewan
Reformasi dan seorang menteri menyatakan mundur dari jabatannya. Keadaan itu
merupakan bukti bahwa Presiden Suharto telah menghadapi krisis kepercayaan,
baik dari para mahasiswa, aktivis LSM, pihak oposisi, para cendekiawan, tokoh
agama dan masyarakat, maupun dari kawan-kawan terdekatnya. Akhirnya, pada
tanggal 21 Mei 1998, Presiden Suharto menyatakan mengundurkan diri (berhenti)
sebagai Presiden RI dan menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden. Pada saat
itu juga Wakil Presiden B.J. Habibie diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung
sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana Negara.
JAWABAN PERTANYAAN
1) Apa arti dan makna reformasi yang diharapkan?
Arti reformasi gerakan moral yang bertujuan untuk menata
perikehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara berda-sarkan Pancasila, serta mewujudkan pemerintahan yang bersih
dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Makna reformasi adalah
yang paling mulia, bukan keadilan atau kemakmuran masyarakat, tetapi bahwa
masyarakat menjadi makin baik. keadilan dan kemakmuran sangat penting. Tetapi
lebih penting lagi adalah struktur sosial, budaya, ekonomi, hukum dan politik
yang menguntungkan perilaku yang baik dan merugikan perilaku yang jelek.
Menurut pandangan saya, orang Indonesia sudah mempunyai masyarakat yang baik di
antara yang paling baik di dunia.
2)
Apa yang kita perbuat dalam membangun bangsa dan Negara menuju tujuan Nasional?
Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang kita rasakan
saat ini, itu terjadi dalam proses yang dinamis dan berlangsung lama, karena
persatuan dan kesatuan bangsa terbentuk dari proses yang tumbuh dari
unsur-unsur sosial budaya masyarakat Indonesia sendiri, yang ditempa dalam
jangkauan waktu yang lama sekali. Unsur-unsur sosial budaya itu antara lain
seperti sifat kekeluargaan dan jiwa gotong-royong. Kedua unsur itu merupakan
sifat-sifat pokok bangsa Indonesia yang dituntun oleh asas kemanusiaan dan
kebudayaan. Karena masuknya kebudayaan dari luar, maka terjadi proses
akulturasi (percampuran kebudayaan). Kebudayaan dari luar itu adalah kebudayaan
Hindu, Islam, Kristen dan unsur-unsur kebudayaan lain yang beraneka ragam.
Semua unsur-unsur kebudayaan dari luar yang masuk diseleksi oleh bangsa
Indonesia.
Kemudian sifat-sifat lain terlihat dalam setiap pengambilan
keputusan yang menyangkut kehidupan bersama yang senantiasa dilakukan dengan
jalan musyawarah dan mufakat. Hal itulah yang mendorong terwujudnya persatuan
bangsa Indonesia. Terdapat beberapa prinsip yang juga harus kita hayati serta
kita pahami lalu kita amalkan.
Prinsip-prinsip
itu adalah sebagai berikut:
a.
Prinsip Bhineka Tunggal Ika
Prinsip ini mengharuskan kita mengakui bahwa bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama dan
adat kebiasaan yang majemuk. Hal ini mewajibkan kita bersatu sebagai bangsa
Indonesia.
b.
Prinsip Nasionalisme Indonesia
Kita mencintai bangsa kita, tidak berarti bahwa kita
mengagung-agungkan bangsa kita sendiri. Nasionalisme Indonesia tidak berarti
bahwa kita merasa lebih unggul daripada bangsa lain. Kita tidak ingin
memaksakan kehendak kita kepada bangsa lain, sebab pandangan semacam ini hanya
mencelakakan kita. Selain tidak realistis, sikap seperti itu juga bertentangan
dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.
c.
Prinsip Kebebasan yang Bertanggungjawab
Manusia Indonesia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa. Ia memiliki kebebasan dan tanggung jawab tertentu terhadap dirinya,
terhadap sesamanya dan dalam hubungannya dengan Tuhan Yang maha Esa.
d.
Prinsip Wawasan Nusantara
Dengan wawasan itu, kedudukan manusia Indonesia ditempatkan
dalam kerangka kesatuan politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan
keamanan. Dengan wawasan itu manusia Indonesia merasa satu, senasib
sepenanggungan, sebangsa dan setanah air, serta mempunyai satu tekad dalam
mencapai cita-cita pembangunan nasional.
e.
Prinsip Persatuan Pembangunan untuk Mewujudkan Cita-Cita Reformasi
Dengan semangat persatuan Indonesia kita harus dapat mengisi
kemerdekaan serta melanjutkan pembangunan menuju masyarakat yang adil dan
makmur.
3)
Dalam mengeluarkan pendapat apakah batas-batas yang harus dijaga, supaya
mengganggu stabilitas Nasional?
-
Mengatakan hanya kebenaran yang sesuai dengan fakta.
-
Menghindari kata – kata tertentu yang dpat mengangu ketertiban umum.
-
Menghindari kata – kata yang mengajak orang lain untuk melakukan tindak
kriminal
Ketiga
katagori ini merupakan pegangan dalam penilaian apakah penyalahgunaan kebebasan
pendapat telah di jalankan atau belum. Mengenai kebenaran bahwa tuduhan
merupakan pernyataan yang dapat mengangu ketertiban karna dapat memberikan
kesan lain yang tidak sebenarnya.
Menurut John Stuartmill, untuk melindungi kebebasan
berpendapat sebagai hak dasar adalah ”Sangat Penting Untuk Menemukan Esensi
Adanya Suatu Kebenaran”. Kesetaraan martabat dan hak politik mengidentifikasi
tentang kesamaan hak politik dari setiap warga negara, termasuk hak mendapatkan
akses untuk informasi politik serta kebebasan mendiskusikan dan mengkritik
figure public. Dalam negara demokrasi, selain menghargai mayoritas, juga
pelaksanaan kekuasaan harus bertanggung jawab dan responsive terhadap aspirasi
rakyat. Di Indonesia sendiri hak ini telah dicantumkan dalam pasal 28 ayat 28E
ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang berisi “Setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Sebagai
contohnya adalah Tahun 1998 di saat awal mula tumbangnya pemerintahan Presiden
Soeharto, terjadi peristiwa dimana puluhan ribu mahasiswa berunjuk rasa dan
turun ke ruas jalan raya di kota Jakarta.
Pembatasan terhadap hak dan kebebasan menyampaikan pendapat
khususnya di media berbasis IT memang menjadi satu ganjalan, bahwa seakan-akan
masyarakat tidak dibenarkan menyampaikan kritikan dan sumbang saran yang
nyata-nyata akan memojokkan pihak tertentu, padahal jika kita mengkaji lebih
jauh bahwa peran masyarakat sebagai social controle sangat penting sebagai
sebuah indikator berhasil atau tidaknya pembangunan dan kualitas pembangunan
yang dilakukan pemerintah, jadi kita berharap sekiranya ini tidak menjadi
penghalang bagi setiap warga untuk dapat menyatakan pendapat dan buah pemikiran
mereka, tetaplah pada koridor yang benar bahwa tujuan kita menyampaikan
informasi yang sebenarnya untuk kepentingan bersama. Pengekangan kebebasan
berpendapat di Indonesia ini, bukan kali pertama terjadi dalam sejarah bangsa
kita. Dari rezim ke rezim, Indonesia mengalami jalan cukup panjang dan terjal
mengenai penegakkan kebebasan berpendapat ini. Meskipun secara jelas aturan
mengenai kebebasan berpendapat dan berekspresi ini tercantum dalam piagam PBB,
pada kenyataannya untuk menegakkannya dalam sebuah negara tidaklah mudah. Rezim
yang berkuasa berikut aktor dan sistem yang juga berkuasa menjadi faktor
penentu bagaimana kebebasan tersebut ditegakkan. Pasalnya, merekalah yang
menjadi penentu kebijakan atas kebebasan berpendapat ini.
Sejarah pemerintahan Indonesia menjadi gambaran yang cukup
kongkrit betapa kebebasan berpendapat di Indonesia dari rezim ke rezim menjadi
perjuangan yang belum sepenuhnya menyuarakan semangat demokrasi. Masa orde lama
dan orde baru, karena pada masa itu keberadaan media hanya terbatas pada media
cetak dan media penyiaran, maka pemerintah memberikan kekangan yang cukup ketat
untuk dua media ini. Merujuk pada aturan yang lebih universal. Secara luas,
dunia memberikan pengakuan atas kebebasan untuk mencari, mengumpulkan, dan
untuk menyebarluaskan informasi sebagaimana yang disuarakan dalam piagam PBB
ini mengandung arti bahwa setiap orang bisa mengutarakan pendapat dan
ekspresinya dalam bentuk apapun dan melalui media apapun. Sebagai pembatas agar
kebebasan ini tidak kebablasan, secara lebih lanjut piagam PBB mengemukakannya
dalam Pasal 29 yang menyatakan:
-
Everyone has duties to the community in which alone the free and full
development of this personality possible.
-
In the exercise of the rights and freedom, everyone shall be subject to such
limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due
recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting
the just requirements of morality, public order, and the walfare in democratic
society.
Dari sini dapat dilihat bahwa yang akan menjadi batasan atas
kebebasan berpendapat ini adalah undang-undang setempat, jiwa, masyarakat,
ketertiban sosial dan politik masyarakat demokratis. Undang-undang, ketertiban
sosial, dan politik sebagaimana tertulis dalam piagam PBB ini memang menjadi
pembatas yang dalam pengelolaan kebebasan berpendapat. Namun demikian, bukan
berarti undang-undang yang menjadi dasar hukum dalam suatu negara akan menjadi
pengekang. Undang-undang akan menjadi koridor pembatas saja agar kebebasan
pendapat yang diperjuangkan tidak kebablasan. Melihat dari berbagai pemahaman
ini, kita bisa melihat bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat secara lisan maupun
tulisan merupakan hak semua orang. Setiap individu yang hidup dalam suatu
negara hukum, mempunyai kebebasan yang sama dalam berpendapat. Hanya saja
ketika diterapkan dalam setiap media, kebebasan berpendapat ini akan mempunyai
implikasi yang berbeda, tergantung sifat medianya. Namun, bukan berarti hal ini
akan menjadi alasan untuk mengekang kebebasan berpendapat dalam
masyarakat.